Lensa Indonesia (MI) : PUNCAK acara Hari Ulang Tahun (HUT) TNI ke-69 tahun 2014 ini, disebut-sebut sebagai gelaran terbesar yang pernah dilaksanakan TNI sejak tahun 1960-an. Hampir seluruh Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dari ketiga matra TNI dikerahkan untuk dipamerkan dalam beberapa atraksi yang memukau.
TNI Angkatan Udara, misalnya, mengerahkan ratusan pesawat untuk memeriahkan acara tersebut. Di antaranya, aa puluhan pesawat tempur seperti pesawat Sukhoi Su-27SKM dan Su-30MK2, pesawat F-16 Fighting Falcon, pesawat F-5 Tiger II, pesawat T-50i Golden Eagle, pesawat Hawk 100/200 dan pesawat Counter Insurgency (COIN) terbaru EMB-314 Super Tucano.
Dari tampilan fly pass saat HUT TNI, banyak masyarakat yang akhirnya mengetahui bahwa tidak sidikit jenis pesawat tempur yang dioperasikan TNI dan khususnya TNI Angkatan Udara. Sehingga memunculkan banyak pertanyaan di masyarakat awam, semisal kenapa harus ada berbagai jenis pesawat yang dioperasikan? Apakah jenis tersebut tidak bisa dirampingkan? Bagaimana dengan perawatannya? Dan lain-lain.
Pasca perang dunia kedua, secara umum pesawat tempur di dunia dibagi dalam beberapa tipe yang digolongkan berdasarkan fungsinya. Seperti pesawat tempur (fighter), buru sergap (interceptor), serang darat (ground attack), intai (reconnaissance), pembom (bomber), latih (trainer) dan angkut (transport) yang kemudian dari masing-masing fungsi tersebut dibagi lagi menjadi beberapa sub fungsi yang spesifik.
Untuk pesawat tempur (fighter), misalnya, terdapat sub fungsi air supremacy, strike fighter, multirole fighter dan lain-lain. Sehingga memerlukan banyak tipe pesawat untuk menjawab tantangan fungsi tugas tersebut. Namun, tren perkembangan fighter saat ini mengacu pada penggunaan pesawat multiperan (Multirole/Omnirole) untuk mempermudah pengoperasian dan pemeliharaannya. Selain itu, resolusi PBB untuk menghindari kerugian pihak sipil akibat perang (collateral damage) memacu negara-negara produsen senjata untuk menciptakan Smart and Precision Munition.
Hal tersebut sedikit banyak mengubah peran beberapa jenis pesawat seperti pembom (bomber), attack dan interseptor, bahkan trainer tergabung dalam satu jenis pesawat yaitu multirole fighter atau pesawat multiperan. Selain dapat mengurangi jenis pesawat yang harus dimiliki dan mempermudah pemeliharaan serta menekan operational cost angkatan udara suatu negara khususnya negara dunia ketiga.
Bagaimana Indonesia
Saat ini, TNI Angkatan Udara mengoperasikan berbagai tipe pesawat tempur dengan beberapa varian, antara lain pesawat tempur Sukhoi yang terdiri dari empat varian (Su-27 SK, Su-27 SKM, Su-30MK dan Su-30 MK2), pesawat F-16 Fighting Falcon yang terdiri dari dua varian (F-16A/B Block 15 dan F-16C/D Block 25ID), pesawat F-5 E/F Tiger II, pesawat T-50i Golden Eagle, pesawat BAe Hawk yang terdiri dari tiga varian (Mk.53, Mk.109 dan Mk. 209) dan pesawat EMB-314 Super Tucano.
Banyaknya tipe yang dioperasionalkan tersebut tentunya sangat berpengaruh pada perawatan dan penyiapan operasional pesawat sehingga pada 2008 TNI Angkatan Udara dalam Minimum Essential Force (MEF) berencana merampingkan tipe pesawat yang dioperasionalkan dari 25 tipe menjadi 18 tipe pada tahun 2019 (http://news.okezone.com,11/02/2008).
Rencana perampingan tersebut dipandang penting untuk menghemat biaya pemeliharaan dan perawatan pesawat serta sesuai dengan tren menggunakan pesawat multi fungsi dan multi misi dalam pertahanan udara. Namun konsistensi rencana tersebut saat ini diuji dengan semakin bertambahnya tipe pesawat yang dioperasionalkan TNI Angkatan Udara.
Setelah memilih mengakusisi pesawat T-50i Golden Eagle daripada mengelompokan pesawat BAe Hawk 109 yang saat ini tersebar di dua skadron operasional dan meng-upgrade serta menambah jumlahnya sehingga genap satu skadron sebagai pesawat latih lanjut mengganti pesawat BAe Hawk Mk.53, rencana penggantian pesawat F-5 E/F Tiger II yang dioperasikan aksdron udara 14 merupakan ujian kembali tentang konsistensi kebijakan perampingan tipe pesawat tempur TNI Angkatan Udara.
Skadron udara 14 merupakan skadron udara sergap (Striker Interceptor) dengan tugas utama melaksanakan operasi pertahanan udara, operasi serangan udara strategis, operasi lawan udara ofensif dan operasi dukungan udara seperti penyekatan udara, serangan udara langsung, bantuan tembakan udara, perlindungan udara dan pengamatan/pengintaian (http://tni-au.mil.id,25/09/2014).
Sesuai dengan klasifikasinya tersebut maka pesawat yang dioperasikan di skadron ini merupakan pesawat-pesawat tempur buru sergap (fighter interceptor) yang mampu dengan cepat merespon segala macam ancaman pertahanan udara. Salah satu alasan pemilihan pesawat F-5 E/F Tiger II pada tahun 1980-an adalah karena mempunyai bentuk yang ramping dan mampu mencapai 1.6 Mach (kecepatan suara) sehingga cocok sebagai pesawat untuk fungsi fighter interceptor dan air superiority pada jaman itu.
Untuk itu, pesawat penggantinya kelak diharapkan juga mempunyai kemampuan untuk menjalankan fungsi fighter interceptor dan air superiority sehingga mendukung tugas pokok skadron udara 14 sebagai skadron udara buru sergap.
Beberapa pesawat tempur generasi terbaru telah dikaji oleh TNI Angkatan Udara yang kemudian menjadi kandidat utama untuk mengganti pesawat F-5 E/F Tiger II yaitu pesawat Sukhoi Su-35 Flanker, JAS-39 Gripen NG, F-16 Block 52+ Fighting Falcon dan Eurofighter Typhoon. Dari keempat pesawat tersebut, dua tipe pesawat telah dioperasikan oleh TNI Angkatan Udara dengan varian yang berbeda (Sukhoi dan F-16) sedangkan dua lagi merupakan tipe baru. Secara teknis, pemeliharaan pesawat dengan tipe yang sama namun varian berbeda tidak serta merta dapat dilaksanakan secara bersama-sama, melainkan tetap per varian dan merujuk petunjuk pemeliharaan yang dikeluarkan oleh pabrikan.
Namun, pemeliharaan pesawat dengan tipe yang sama, namun varian berbeda tersebut lebih mudah. Karena dipastikan memiliki beberapa kesamaan pola dan berasal dari pabrikan yang sama, beberapa bagian (sparepart) pendukung biasanya sama sehingga dapat memudahkan dalam urusan logistik dan SDM teknisinya. Sedangkan pemeliharaan pesawat berbeda tipe akan membutuhkan tambahan kualifikasi SDM dan dukungan logistik yang benar-benar baru sehingga memerlukan waktu dan anggaran yang cukup.
Terkait kewajiban mengikutsertakan industri pertahanan dalam negeri dalam setiap pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana tertulis dalam UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, maka semakin banyak pesawat yang dioperasikan atau diakusisi dari suatu pabrik maka dapat menjadi satu tumpuan untuk menuntut pabrik memasok peralatan tersebut agar melakukan transfer of technology kepada industri pertahanan dalam negeri sehingga kedepannya terdapat jaminan dari suku cadang pesawat yang dioperasionalkan.
Penutup
Pesawat tempur merupakan salah satu alat utama sistem senjata (ALUTSISTA) yang sangat penting dalam pertahanan sebuah Negara, sehingga perlu dikaji secara mendalam setiap rencana pengakusisian sebuah pesawat tempur sehingga dapat dioperasionalkan secara maksimal.
Angkatan Udara Negara-negara maju saat ini memilih mengoperasikan tipe pesawat tempur multiperan dengan memberikan kemampuan yang berbeda dalam satu tipe pesawat untuk memudahkan pemeliharaan, dukungan logistik dan SDM. Sehingga sudah semestinnya TNI Angkatan Udara “istiqomah” dalam usaha perampingan pesawat yang dioperasionalkan dan fokus untuk menambah jumlah yang sudah dioperasikan.
Karena, kita ketahui bahwa anggaran pertahanan Negeri ini masihlah terbatas dan perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya, Sehingga tidak ada anggapan di masyarakat bahwa TNI Angkatan Udara memiliki “showroom” pesawat tempur karena terlalu banyak tipe yang dioperasionalkannya.
@
* Penulis pemerhati Pertahanan, Mantan Ketua Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan
NKRI “KERIS, www.lembagakeris.net, dan penyuka kajian Militer, Sejarah, Kebangsaan, Kedaulatan dan Teknologi.
NKRI “KERIS, www.lembagakeris.net, dan penyuka kajian Militer, Sejarah, Kebangsaan, Kedaulatan dan Teknologi.
Sumber : Lensaindonesia
0 Komentar untuk "Quo Vadis Perampingkan Tipe Pesawat Tempur TNI AU"