Keberadaan intelijen maritim di Indonesia meskipun telah dirancang dalam beberapa tahun terakhir namun wujudnya tak kunjung tampak hingga saat ini. Walaupun banyak lembaga yang berkecimpung di maritim telah mengklaim memilki satuan yang tugasnya menyerupai intelijen maritim tetapi keterpaduan, fungsi, dan wadahnya masih terlihat samar-samar.
Sehingga dari keberadaannya yang terpisah dan secara parsial, keberadaan intelijen maritim yang diklaim oleh setiap lembaga itu semakin membuat ego sektoral semakin tinggi. Padahal apapun lembaga di NKRI harus didasarkan kepada kepentingan nasional bukan kepentingan untuk memupuk kekayaan dari para anggota lembaga-lembaga tersebut.
Padahal, secara nasional kita telah dihadapkan pada permasalahan yang cukup gawat menyangkut kepentingan , keamanan, kedaulatan serta kewibawaan kita di laut. Bukan justru mementingkan kepentingan masing-masing kelompok apalagi individu.
Menyorot permasalahan tersebut, ada beberapa fenomena terkini yang terjadi di peraiaran Indonesia yang menyangkut pentingnya peran intelijen maritim dalam menghimpun data, meminimalisir ancaman, serta menjaga kewibawaan negara di laut dalam menyelesaikan permasalahan maritim.
Sebut saja fenomena manusia perahu yang merupakan pengungsi Rohingya. Operasi yang dilakukan oleh Indonesia untuk menghalau manusia perahu itu tidak meniru langkah yang ditempuh oleh Australia. Dalam operasi penghalauan manusia perahu tersebut, Australia mengerahkan semua sumberdaya yang dimilikinya.
Semua sarana dan prasarana intelijen, termasuk perangkat-perangkat berbasis teknologi tinggi didayagunakan oleh negeri Kangguru tersebut. Operasi itu merupakan suatu operasi terpadu, sehingga tak ada kapal perang maupun kapal BPC Australia yang melakukan setrika laut.
Hal demikian yang tidak ditiru oleh Indonesia. Alasannya sederhana, Indonesia tak mempunyai sarana dan prasarana intelijen yang memadai. Intelijen Indonesia masih mengandalkan pada HUMINT dan terus beranggapan bahwa di laut tak ada manusia yang tinggal di sana..
Di lain sisi, fenomena itu bercorak pula kasus kemanusiaan. Artinya, dengan prinsip Pembukaan UUD 45, Indonesia harus mampu melindungi pengungsi yang terkatung-katung di laut terutama yang berada di perairan Indonesia.
Jika pemerintah khawatir akan masuknya ancaman terorisme dengan menganggap bahwa paham tersebut dibawa oleh beberapa pengungsi, maka intelijen maritim yang akan mendeteksi bahaya dan meminimalisir ancaman tersebut.
Yang pasti dalam sisi kemanusiaan kita wajib menolong terlepas apapun paham yang dianut oleh para pengungsi.
Selain masalah itu, terdapat juga fenomena Keamanan maritim di Selat Malaka yang selalu menjadi perhatian negara-negara berkepentingan, baik negara pantai maupun bukan negara pantai.
Salah satu negara yang berkepentingan dengan Selat Malaka adalah Singapura, walaupun negeri mungil itu bukan negara pantai Selat Malaka.
Satu di antara upaya negeri yang dulunya disebut Tumasik itu untuk mengamankan lalu lintas navigasi di Selat Malaka adalah dengan membangun pusat informasi keamanan maritim di Changi yang dikenal sebagai Information Fusion Center (IFC).
Lewat IFC, para pengguna Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut China Selatan, yaitu baik kapal niaga maupun jenis kapal lainnya disarankan untuk melapor apabila ada ancaman insiden perompakan dan pembajakan yang menimpa mereka.
Guna melegitimasi IFC, Singapura mengundang sejumlah Angkatan Laut Asia Pasifik untuk mengawaki atau menjadi pengamat pada fasilitas pelaporan itu.
Indonesia sebagai negara pantai Selat Malaka sejak lama telah mengembangkan fasilitas seperti IFC di Batam.
Tentu saja fasilitas itu tak bisa dibandingkan dengan IFC, karena komitmen politik yang diterima IFC bagaikan bumi dan langit dibandingkan yang diterima oleh fasilitas serupa di Batam.
Fasilitas itu juga mengimbau kepada pengguna untuk melapor apabila ada ancaman atau insiden keamanan maritim bila kasusnya terjadi di perairan yurisdiksi Indonesia.
Namun imbauan itu nampaknya tak bersambut. Meskipun pengguna mengalami ancaman insiden atau keamanan di perairan yurisdiksi Indonesia, namun mereka tetap melaporkannya kepada IFC.
Fasilitas Indonesia di Batam menerima laporan kejadian itu setelah diinformasikan oleh IFC. Pertanyaannya adalah mengapa imbauan dari Indonesia diabaikan ? Tidak lain karena kurangnya teknologi dan peran intelijen maritim dalam konteks tersebut.
Untuk menjawab permasalahan itu, pengamat intelijen, Robert Mangindaan dalam artikelnya (QD:2013) mengingatkan bahwa dalam menyelesaikan permasalahan maritim dan keberadaan intelijen maritim kita perlu menjawab pertanyaan siapa itu NKRI terlebih dahulu ?
Kemudian dijelaskan olehnya bahwa NKRI merupakan bangsa yang terdiri dari 1072 etnik kini berjumlah 240 juta jiwa (sensus penduduk 2013), ialah potensi pasar yang sangat besar bagi produk negara maju dan obyek globalisasi.
Selain itu, bangsa yang mendiami gugusan pulau 17.449 yang terbentang kurang lebih 5000 mil dari timur ke barat, dan 1700 mil dari utara ke selatan, yang secara alamiah memiliki domestic life lines terpanjang di dunia, Serta memiliki kekayaan alam di darat (30%) dan di laut (70%) yang belum terinventarisasi secara baik, lagi pula data base nasional belum terpadu, dan masih berantakan.
Tak ayal pemikiran itu berangkat dari gagasan ‘Kenali dirimu, kenali musuhmu, maka engkau tidak akan celaka. Diktum yang terkenal itu sudah dipesan oleh Sun Tzu sejak empat abad sebelum Masehi, ditulis dalam buku Seni Perang, dan (nampaknya) masih perlu diperhatikan sampai sekarang ini.
Mantan anggota BAIS ini juga meninjau NKRI secara falsafah, yakni Pancasila dan Pembukaan UUD 45 serta konsensus lainnnya yang sudah mengandung kepentingan nasional kita. Dan bukannya tidak sadar akan hal itu, terbukti dengan adanya salah satu dari empat konsensus nasional yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang menganggap keanekaan adalah suatu Rahmat Illahi, Indonesia telah memilki potensi atau kekuatan yang besar di dunia.
Akan tetapi, konsensus tersebut tidak akan bertahan hidup (sustainable) secara alamiah, tidak bisa pula dianggap gratis, atau taken for granted !! Harus ada upaya yang konsisten dan cerdas untuk memelihara (to maintain) konsensus nasional tersebut.
Dengan kata lain ketika konsensus itu dirusak selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, pada kemana perangkat intelijen nasional kita dan TNI/Polri kita ? atau justru menjadi bagian dari agenda pengrusakan itu ?
Oleh karena itu, keberadaan intelijen maritim nanti selain untuk menjaga dan memanfaatkan sebesar-besar potensi tadi (penduduk, geografi, dan SDA) serta falsafahnya, sudah pasti akan mewujudkan kedaulatan maritim yang saat ini dicita-citakan oleh presiden dalam bingkai visi poros maritim dunia.
Dapat juga disebutkan, poros maritim dunia akan terwujud bilamana 4 konsensus itu terpelihara dengan baik serta dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Bukan juga konsensus semu yang telah dijalankan selama lebih dari satu dasawarsa terakhir.
Terlepas dari kedua fenomena pengungsi Rohingya dan IFC di awal tulisan, sejatinya dalam pertemuan antar kepentingan nasional, atau strategi raya (grand strategy), atau national security strategy, sudah menjadi pemahaman universal, bahwa pihak yang memiliki keunggulan informasi yang akan berjaya.
Indonesia ketika memiliki keunggulan itu bukan tidak mungkin poros maritim Asia bahkan dunia akan tercapai. Dan bukan hanya Singapura yang tergeser peranannya, bahkan AS dan Tiongkok pun dapat tergeser. Semoga !!
Sumber : Jurnalmaritim
0 Komentar untuk "Intelijen dan Kedaulatan Maritim Indonesia "