Jakarta (MI) : Alam Indonesia menyimpan kekayaan tiada terkira.Di lautan tersimpan jutaan jenis ikan dan terumbu karang, sementara di daratan negara ini punya sumber daya alam berlimpah, mulai sumber-sumber minyak dan gas, hingga hasil tambang.
Selain itu, Indonesia juga terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan keragaman suku, etnis, dan budayanya masing- masing.
Dengan modal kekayaan alam yang melimpah dan kearifan lokal yang begitu beragam, sudah pasti tidak mudah menjaga kedaulatan sebuah negara. Dengan isu perbedaan dan perebutan sumber daya alam, kedaulatan NKRI akan mudah digoyah bangsa lain. Politik pecah-belah akan senantiasa dihembuskan, serta sentimen identitas akan selalu dijadikan pemantik untuk melahirkan konflik.
Jika kondisi chaos terjadi di banyak daerah, khususnya di kawasan-kawasan perbatasan, kepentingan bangsa lain pun akan mudah masuk. Kapal-kapal asing akan mencuri ikan di lautan Indonesia dengan mudahnya, dan pesawat-pesawat negara lain dengan tanpa izin seenaknya melewati jalur penerbangan dalam negeri.
Demi kepentingan ini, industri pertahanan mutlak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Dukungan tersebut dapat berupa penganggaran maupun kebijakan. Hal ini bertujuan agar industri pertahanan mampu memfasilitasi alutsista Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara lengkap. Lebih dari itu, sektor ini bisa memberikan nilai tambah ekonomi bagi negara karena beberapa produksinya diekspor ke banyak negara.
Alutsista yang kuat menjadi tolak ukur di hadapan bangsa lain bahwa Indonesia adalah negara yang kuat di bidang militer. Salah satu produsen peralatan pertahanan dan keamanan terkemuka adalah PT Pindad (persero), BUMN yang bergerak dalam bidang penyediaan, pemeliharaan, dan uji alutsista.
PT Pindad juga memproduksi sejumlah produk alutsista yang sifatnya komersial, di antaranya produk senjata dan amunisi, kendaraan khusus, produk pyrotechnic (bahan pendorong dan bahan peledak), konversi energi, mesin industri dan peralatan industrial, mekanikal, elektrikal optikal dan opto elektronik. Dalam beberapa tahun ini, PT Pindad mengalami perkembangan signifikan dalam hal inovasi produk dan jalinan kemitraan dengan sejumlah industri pertahanan dunia.
Pada pertengahan bulan lalu misalnya, PT Pindad menyepakati skema kerja sama dengan produsen turret (sistem persenjataan) terkemuka, Cockerill Maintenance & Ingenierie (CMI Defense), Belgia. Perjanjian ini membahas mengenai pengembangan bisnis sistem persenjataan jangka panjang yang akan berlokasi di Indonesia. PT Pindad dan CMI Defence akan saling berkontribusi dalam mewujudkan hubungan kerja sama yang saling menguntungkan.
Pasar di Asia dan ASEAN akan coba dijajaki CMI Defence melalui Pindad dan lokasi produksi dari kerja sama ini akan dilakukan dan difasilitasi produksi PT Pindad di Bandung. Produk pertama hasil kolaborasi para awak Pindad dan CMI Defence adalah kendaraan lapis baja (panser) kanon 90 mm.
Kendaraan dengan daya jelajah maksimum 90 kilometer per jam ini mampu menggotong sistem persenjataan Cockerill dengan kanon 90 milimeter. “Jenis kendaraan tempur lapis baja ini kami hadirkan untuk menjawab kebutuhan TNI sesuai dengan kebijakan MEF (Minimum Essential Forces) dalam pengadaan kendaraan tempur,” ujar Plt Direktur Utama PT Pindad Tri Hardjono dalam rilis resminya beberapa waktu lalu.
Di bidang lain, Pindad menggandeng Rheinmetall Land System (RLS) dari Jerman, untuk kerja sama kegiatan overhauling, upgrading, servicing, maintenance dan modifikasi, termasuk peralatan dan support untuk TNI. Beberapa poin tersebut akan dilakukan terhadap beberapa produk kendaraan tempur seperti MBT Leopard 2 RI, MBT Leopard 2 A4 + CS, MBT Leopard 2 Driver Training Tank, AIFV Marder 1A3 RI, ARV Buffalo, ARV 2, AEV Badger, AVLB Beaver, dan Gunnery/Driving Simulator.
Beberapa upgrading dan modifikasi juga dapat dilakukan kepada beberapa produk kendaraan, yaitu IFV Marder Command Post varian Komando, IFV Marder APC varian Logistik, dan IFV Marder AMB varian ambulans. Tri Hardjono menuturkan, jalan panjang telah manajemen Pindad lalui untuk meretas ikhtiar dengan berbagai mitra internasional.
“Intisarinya semua upaya itu merupakan wujud komitmenkamidalammendorong bangkitnya industri pertahanan dalam negeri, dalam hal ini Pindad, untuk bisa masuk pada mata rantai supply chain produk alat utama sistem persenjataan global,” sambung Tri. Menurut pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, tak dapat dimungkiri bahwa sektor pertahananmerupakansatudari sekian industri strategis di Indonesia yang perlu mendapat dukungan.
Untuk itu, semua pihak terutama pemerintah perlu mendukungnya, terlebih perusahaan ini melayani pemesanan dari negara-negara lain. “Saya melihat ada kemajuan, apalagi Pindad juga sudah dapat melakukan retrofit beberapa alutsista yang lain. Berita ini sangat menggembirakan bagi TNI,” kata Nuning kepada KORAN SINDO kemarin.
Selain itu, Indonesia juga terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan keragaman suku, etnis, dan budayanya masing- masing.
Dengan modal kekayaan alam yang melimpah dan kearifan lokal yang begitu beragam, sudah pasti tidak mudah menjaga kedaulatan sebuah negara. Dengan isu perbedaan dan perebutan sumber daya alam, kedaulatan NKRI akan mudah digoyah bangsa lain. Politik pecah-belah akan senantiasa dihembuskan, serta sentimen identitas akan selalu dijadikan pemantik untuk melahirkan konflik.
Jika kondisi chaos terjadi di banyak daerah, khususnya di kawasan-kawasan perbatasan, kepentingan bangsa lain pun akan mudah masuk. Kapal-kapal asing akan mencuri ikan di lautan Indonesia dengan mudahnya, dan pesawat-pesawat negara lain dengan tanpa izin seenaknya melewati jalur penerbangan dalam negeri.
Demi kepentingan ini, industri pertahanan mutlak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Dukungan tersebut dapat berupa penganggaran maupun kebijakan. Hal ini bertujuan agar industri pertahanan mampu memfasilitasi alutsista Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara lengkap. Lebih dari itu, sektor ini bisa memberikan nilai tambah ekonomi bagi negara karena beberapa produksinya diekspor ke banyak negara.
Alutsista yang kuat menjadi tolak ukur di hadapan bangsa lain bahwa Indonesia adalah negara yang kuat di bidang militer. Salah satu produsen peralatan pertahanan dan keamanan terkemuka adalah PT Pindad (persero), BUMN yang bergerak dalam bidang penyediaan, pemeliharaan, dan uji alutsista.
PT Pindad juga memproduksi sejumlah produk alutsista yang sifatnya komersial, di antaranya produk senjata dan amunisi, kendaraan khusus, produk pyrotechnic (bahan pendorong dan bahan peledak), konversi energi, mesin industri dan peralatan industrial, mekanikal, elektrikal optikal dan opto elektronik. Dalam beberapa tahun ini, PT Pindad mengalami perkembangan signifikan dalam hal inovasi produk dan jalinan kemitraan dengan sejumlah industri pertahanan dunia.
Pada pertengahan bulan lalu misalnya, PT Pindad menyepakati skema kerja sama dengan produsen turret (sistem persenjataan) terkemuka, Cockerill Maintenance & Ingenierie (CMI Defense), Belgia. Perjanjian ini membahas mengenai pengembangan bisnis sistem persenjataan jangka panjang yang akan berlokasi di Indonesia. PT Pindad dan CMI Defence akan saling berkontribusi dalam mewujudkan hubungan kerja sama yang saling menguntungkan.
Pasar di Asia dan ASEAN akan coba dijajaki CMI Defence melalui Pindad dan lokasi produksi dari kerja sama ini akan dilakukan dan difasilitasi produksi PT Pindad di Bandung. Produk pertama hasil kolaborasi para awak Pindad dan CMI Defence adalah kendaraan lapis baja (panser) kanon 90 mm.
Kendaraan dengan daya jelajah maksimum 90 kilometer per jam ini mampu menggotong sistem persenjataan Cockerill dengan kanon 90 milimeter. “Jenis kendaraan tempur lapis baja ini kami hadirkan untuk menjawab kebutuhan TNI sesuai dengan kebijakan MEF (Minimum Essential Forces) dalam pengadaan kendaraan tempur,” ujar Plt Direktur Utama PT Pindad Tri Hardjono dalam rilis resminya beberapa waktu lalu.
Di bidang lain, Pindad menggandeng Rheinmetall Land System (RLS) dari Jerman, untuk kerja sama kegiatan overhauling, upgrading, servicing, maintenance dan modifikasi, termasuk peralatan dan support untuk TNI. Beberapa poin tersebut akan dilakukan terhadap beberapa produk kendaraan tempur seperti MBT Leopard 2 RI, MBT Leopard 2 A4 + CS, MBT Leopard 2 Driver Training Tank, AIFV Marder 1A3 RI, ARV Buffalo, ARV 2, AEV Badger, AVLB Beaver, dan Gunnery/Driving Simulator.
Beberapa upgrading dan modifikasi juga dapat dilakukan kepada beberapa produk kendaraan, yaitu IFV Marder Command Post varian Komando, IFV Marder APC varian Logistik, dan IFV Marder AMB varian ambulans. Tri Hardjono menuturkan, jalan panjang telah manajemen Pindad lalui untuk meretas ikhtiar dengan berbagai mitra internasional.
“Intisarinya semua upaya itu merupakan wujud komitmenkamidalammendorong bangkitnya industri pertahanan dalam negeri, dalam hal ini Pindad, untuk bisa masuk pada mata rantai supply chain produk alat utama sistem persenjataan global,” sambung Tri. Menurut pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, tak dapat dimungkiri bahwa sektor pertahananmerupakansatudari sekian industri strategis di Indonesia yang perlu mendapat dukungan.
Untuk itu, semua pihak terutama pemerintah perlu mendukungnya, terlebih perusahaan ini melayani pemesanan dari negara-negara lain. “Saya melihat ada kemajuan, apalagi Pindad juga sudah dapat melakukan retrofit beberapa alutsista yang lain. Berita ini sangat menggembirakan bagi TNI,” kata Nuning kepada KORAN SINDO kemarin.
Maksimalkan Peran Industri Strategis
Perhatian pemerintah terhadap sektor industri strategis harus benar-benar diwujudkan dengan tindakan nyata.
Selain bertujuan memperkuat alutsista militer dalam negeri, dukungan ini diharapkan bisa mendatangkan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Apalagi, sejumlah negara di dunia kini mulai melirik produk-produk alutsista buatan Indonesia. Sejatinya, Indonesia memiliki beberapa sektor industri strategis terkemuka, seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Pal Indonesia, PT Palindo Marine, PT Pindad, PT Infra RCS Indonesia, dan PT Sari Bahari.
Berbagai produk dari masing-masing perusahaan tersebut bukan hanya telah dimanfaatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI), melainkan juga banyak pasukan militer dari negara lain. Jika saja pemerintah mampu memaksimalkan peran strategis sejumlah industri ini, tidak mustahil bila Indonesia akan menjadi pemain yang diperhitungkan di industri ini. Lebih dari itu, Indonesia akan dipandang siap oleh bangsabangsa lain dari sisi ketahanan militernya.
Pada 2012, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mulai menyeriusi optimalisasi sektor industri strategis seiring dengan target percepatan MEF (minimum essential force). Tak tanggung-tanggung, Kemenhan menyepakati MoU dengan sejumlah industri strategis tersebut dengan nilai kontrak Rp1,3 triliun. Nilai kontrak sebesar itu diharapkan militer dalam negeri memiliki alutsista ringan dan kelas berat untuk mengisi tiga matra TNI.
Alhasil, produsenprodusen alutsista tersebut kini terbukti mampu membuat persenjataan yang digdaya, seperti Rocket FFAR (fin folding aerial rocket) buatan PT DI, radar/ ECDIS (electronic chart display and information system) produksi PT Infra RCS Indonesia, dan PT LEN Industri yang membuat radar processing dan display console untuk teknologi modern radar dan legacy radar.
Selain itu, PT Sari Bahari misalnya, memproduksi berbagai jenis bom berkekuatan tinggi, di antaranya Smoke Warhead Cal. 70 MM, Bomb P-25, Bomb P 100, dan Bomb P 100L. “Kami adalah perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang industri pertahanan, khususnya dalam pembuatan standard practice dan live bomb untuk NATO dan Rusia,” seperti ditulis laman resmi PT Sari Bahari.
Tahun lalu perusahaan persenjataanmiliteryangberbasisdi Malang, Jawa Timur ini mengekspor ratusan roket hulu ledak asap (smoke warhead) kaliber 70 milimeter ke Republik Cile, setelah memenangi tender internasional yang diikuti 43 negara. Optimalisasi perusahaanperusahaan strategis seiring dengan keinginan pemerintah dalam memperkuat alutsista militer.
Beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengatakan akan menjalin kerjasama dengan berbagai produsen alat-alat persenjataan militer untuk memperkuat ketahanan negara. Kerja sama bisa dilakukan baik dengan produsen dalam negeri maupun luar negeri.
“Indonesia akan bekerja sama dengan Boeing dalam pengadaan 8 helikopter Apache yang direncanakan akan tiba pada 2017. Kita berharap dapat menambah 8 helikopter Apache lagi sehingga menjadi 16 unit,” ungkap Ryamizard saat bertemu dengan Vice President for Indonesia of Boeing Defense, Space and Security, Yeong Tae Pak, di acara Indo Defence 2014 Expo & Forum, beberapa waktu lalu.
Ryamizard juga menekankan agar dalam pengadaan selanjutnya telah disertakan transfer of technology (ToT) bagi pengembangan industri pertahanan dalam negeri serta pendidikan dan pelatihan bagi pilot dan teknisi yang akan mengawaki Apache nantinya.
Penting bagi sebuah negara untuk memperkuat ketahanan militernya dengan alutsista yang lengkap. Wujud dari kekuatan militer sebuah negara salah satunya dipengaruhi kepedulian pemerintah terhadap sektor industri strategis, terutama di bidang pertahanan.
Selain bertujuan memperkuat alutsista militer dalam negeri, dukungan ini diharapkan bisa mendatangkan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Apalagi, sejumlah negara di dunia kini mulai melirik produk-produk alutsista buatan Indonesia. Sejatinya, Indonesia memiliki beberapa sektor industri strategis terkemuka, seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Pal Indonesia, PT Palindo Marine, PT Pindad, PT Infra RCS Indonesia, dan PT Sari Bahari.
Berbagai produk dari masing-masing perusahaan tersebut bukan hanya telah dimanfaatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI), melainkan juga banyak pasukan militer dari negara lain. Jika saja pemerintah mampu memaksimalkan peran strategis sejumlah industri ini, tidak mustahil bila Indonesia akan menjadi pemain yang diperhitungkan di industri ini. Lebih dari itu, Indonesia akan dipandang siap oleh bangsabangsa lain dari sisi ketahanan militernya.
Pada 2012, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mulai menyeriusi optimalisasi sektor industri strategis seiring dengan target percepatan MEF (minimum essential force). Tak tanggung-tanggung, Kemenhan menyepakati MoU dengan sejumlah industri strategis tersebut dengan nilai kontrak Rp1,3 triliun. Nilai kontrak sebesar itu diharapkan militer dalam negeri memiliki alutsista ringan dan kelas berat untuk mengisi tiga matra TNI.
Alhasil, produsenprodusen alutsista tersebut kini terbukti mampu membuat persenjataan yang digdaya, seperti Rocket FFAR (fin folding aerial rocket) buatan PT DI, radar/ ECDIS (electronic chart display and information system) produksi PT Infra RCS Indonesia, dan PT LEN Industri yang membuat radar processing dan display console untuk teknologi modern radar dan legacy radar.
Selain itu, PT Sari Bahari misalnya, memproduksi berbagai jenis bom berkekuatan tinggi, di antaranya Smoke Warhead Cal. 70 MM, Bomb P-25, Bomb P 100, dan Bomb P 100L. “Kami adalah perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang industri pertahanan, khususnya dalam pembuatan standard practice dan live bomb untuk NATO dan Rusia,” seperti ditulis laman resmi PT Sari Bahari.
Tahun lalu perusahaan persenjataanmiliteryangberbasisdi Malang, Jawa Timur ini mengekspor ratusan roket hulu ledak asap (smoke warhead) kaliber 70 milimeter ke Republik Cile, setelah memenangi tender internasional yang diikuti 43 negara. Optimalisasi perusahaanperusahaan strategis seiring dengan keinginan pemerintah dalam memperkuat alutsista militer.
Beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengatakan akan menjalin kerjasama dengan berbagai produsen alat-alat persenjataan militer untuk memperkuat ketahanan negara. Kerja sama bisa dilakukan baik dengan produsen dalam negeri maupun luar negeri.
“Indonesia akan bekerja sama dengan Boeing dalam pengadaan 8 helikopter Apache yang direncanakan akan tiba pada 2017. Kita berharap dapat menambah 8 helikopter Apache lagi sehingga menjadi 16 unit,” ungkap Ryamizard saat bertemu dengan Vice President for Indonesia of Boeing Defense, Space and Security, Yeong Tae Pak, di acara Indo Defence 2014 Expo & Forum, beberapa waktu lalu.
Ryamizard juga menekankan agar dalam pengadaan selanjutnya telah disertakan transfer of technology (ToT) bagi pengembangan industri pertahanan dalam negeri serta pendidikan dan pelatihan bagi pilot dan teknisi yang akan mengawaki Apache nantinya.
Penting bagi sebuah negara untuk memperkuat ketahanan militernya dengan alutsista yang lengkap. Wujud dari kekuatan militer sebuah negara salah satunya dipengaruhi kepedulian pemerintah terhadap sektor industri strategis, terutama di bidang pertahanan.
Jangan Biarkan Industri Strategis Mati Suri
Perusahaan yang pada awalnya hanya bergerak di bidang pengadaan alat-alat militer, berpotensi menjadi perusahaan besar di bidang komersial.
Beberapa perusahaan luar negeri memberikan contoh akan hal ini. Saat ini Indonesia mempunyai beberapa perusahaan nasional yang bergerak di bidang penyediaan peralatan militer, seperti PT Pindad, PT PAL Indonesia, PT Dirgantara Indonesia (DI) yang di antara produknya dipergunakan untuk kebutuhan militer.
PT Pindad sudah terbukti berhasil mengeluarkan produk yang tidak hanya diterima militer Indonesia, namun juga mendapatkan permintaan dari luar negeri. Sementara itu, PT DI yang dulu sempat berjaya dengan N-250 di dekade 1990-an, kini juga mulai menggeliat. Sejumlah pesanan dari luar negeri juga berdatangan.
Director Prisma Resource Centre Suhardi Suryadi menyebutkan saat ini memang ada sejumlah perusahaan di sektor industri strategis sudah menunjukkan kualitas yang bagus. PT DI, Pindad, dan PAL adalah contoh dari perusahaan yang berhasil bergerak di sektor ini. Namun secara keseluruhan, dia masih melihat industri strategis Indonesia kurang berkembang.
“Kalau saya melihat secara umum, industri strategis Indonesia belum berkembang dengan baik bahkan bisa dikatakan industri ini tidak maju dan tidak juga mati atau stagnan,” kata Suhardi kepada KORAN SINDO kemarin. Kondisi ini menurut Suhardi sangat disayangkan, mengingat secara infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) di industri strategis cukup andal. Tinggal bagaimana pengelolaannya yang lebih baik.
Menurut Suhardi, industri strategis secara umum harus mandiri sehingga bisa bersaing secara komersial. Dia mencontohkan banyak industri strategis di negara lain yang dulunya hanya menyuplai keperluan militer dalam negeri, kini menjadi salah satu pemain utama di bidangnya. Salah satu yang menonjol adalah Boeing asal Amerika Serikat. Boeing awalnya fokus pada pesawat berbadan besar dikaji untuk memenangi kontrak dari militer Amerika Serikat untuk membuat pesawat berpenumpang besar bagi keperluan militer.
Rupanya saat itu Boeing tidak beruntung karena kalah dengan Lockheed C-5 Galaxy. Namun, usaha Boeing mengonsep pesawat berbadan besar tidak sia-sia, salah satu pelanggannya meminta Boeing membuat sebuah pesawat penumpang yang besar, 2 kali ukuran Boeing 707.
Padahal, saat itu yang banyak diminati adalah pesawat berkapasitas rendah dan berjarak dekat. Pada 1966, Boeing sudah berhasil memproduksi pesawat penumpang berkapasitas besar yang seperti Boeing 747 dengan pesanan awal 25 pesawat. Boeing hampir gulung tikar pada 1970. Namun, Boeing memenangi pertaruhan ini pada akhirnya dan Boeing memonopoli pengangkutan berbadan lebar selama 35 tahun. Kedatangan Airbus A380 memecah rekor Boeing.
Kini Boeing tidak dikenal sebagai penyedia pesawat militer, namun lebih dikenal sebagai penyedia pesawat angkut yang populer. Desain yang pada awalnya untuk pesawat militer rupanya dengan modifikasibisajugadigunakanuntukberkompetisi pada bidang komersial. Jika bisa untuk kebutuhan komersial, tentunya bisa diproduksilebihmassaldari pada hanyabergerak di bidang militer.
Kasus Boeing memperlihatkan bahwa produk untuk militer pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan produk untuk komersial dan sipil. Cuma hanya spesifikasi tertentu yang memang berbeda antara keduanya. Peralihan antara keduanya bukanlah hal yang tidak mungkin, sehingga perusahaan yang awalnya memproduksi alat militer juga bisa memproduksi alat untuk sipil.
Sepanjang tidak mempunyai perbedaan yang sangat prinsipiil antara keduanya. “Bukan hanya Boeing, sejumlah perusahaan di berbagai negara seperti Prancis yang dulunya untuk kepentingan dalam negeri, kini bersaing secara komersial,” jelas Suhardi.
Beberapa perusahaan luar negeri memberikan contoh akan hal ini. Saat ini Indonesia mempunyai beberapa perusahaan nasional yang bergerak di bidang penyediaan peralatan militer, seperti PT Pindad, PT PAL Indonesia, PT Dirgantara Indonesia (DI) yang di antara produknya dipergunakan untuk kebutuhan militer.
PT Pindad sudah terbukti berhasil mengeluarkan produk yang tidak hanya diterima militer Indonesia, namun juga mendapatkan permintaan dari luar negeri. Sementara itu, PT DI yang dulu sempat berjaya dengan N-250 di dekade 1990-an, kini juga mulai menggeliat. Sejumlah pesanan dari luar negeri juga berdatangan.
Director Prisma Resource Centre Suhardi Suryadi menyebutkan saat ini memang ada sejumlah perusahaan di sektor industri strategis sudah menunjukkan kualitas yang bagus. PT DI, Pindad, dan PAL adalah contoh dari perusahaan yang berhasil bergerak di sektor ini. Namun secara keseluruhan, dia masih melihat industri strategis Indonesia kurang berkembang.
“Kalau saya melihat secara umum, industri strategis Indonesia belum berkembang dengan baik bahkan bisa dikatakan industri ini tidak maju dan tidak juga mati atau stagnan,” kata Suhardi kepada KORAN SINDO kemarin. Kondisi ini menurut Suhardi sangat disayangkan, mengingat secara infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) di industri strategis cukup andal. Tinggal bagaimana pengelolaannya yang lebih baik.
Menurut Suhardi, industri strategis secara umum harus mandiri sehingga bisa bersaing secara komersial. Dia mencontohkan banyak industri strategis di negara lain yang dulunya hanya menyuplai keperluan militer dalam negeri, kini menjadi salah satu pemain utama di bidangnya. Salah satu yang menonjol adalah Boeing asal Amerika Serikat. Boeing awalnya fokus pada pesawat berbadan besar dikaji untuk memenangi kontrak dari militer Amerika Serikat untuk membuat pesawat berpenumpang besar bagi keperluan militer.
Rupanya saat itu Boeing tidak beruntung karena kalah dengan Lockheed C-5 Galaxy. Namun, usaha Boeing mengonsep pesawat berbadan besar tidak sia-sia, salah satu pelanggannya meminta Boeing membuat sebuah pesawat penumpang yang besar, 2 kali ukuran Boeing 707.
Padahal, saat itu yang banyak diminati adalah pesawat berkapasitas rendah dan berjarak dekat. Pada 1966, Boeing sudah berhasil memproduksi pesawat penumpang berkapasitas besar yang seperti Boeing 747 dengan pesanan awal 25 pesawat. Boeing hampir gulung tikar pada 1970. Namun, Boeing memenangi pertaruhan ini pada akhirnya dan Boeing memonopoli pengangkutan berbadan lebar selama 35 tahun. Kedatangan Airbus A380 memecah rekor Boeing.
Kini Boeing tidak dikenal sebagai penyedia pesawat militer, namun lebih dikenal sebagai penyedia pesawat angkut yang populer. Desain yang pada awalnya untuk pesawat militer rupanya dengan modifikasibisajugadigunakanuntukberkompetisi pada bidang komersial. Jika bisa untuk kebutuhan komersial, tentunya bisa diproduksilebihmassaldari pada hanyabergerak di bidang militer.
Kasus Boeing memperlihatkan bahwa produk untuk militer pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan produk untuk komersial dan sipil. Cuma hanya spesifikasi tertentu yang memang berbeda antara keduanya. Peralihan antara keduanya bukanlah hal yang tidak mungkin, sehingga perusahaan yang awalnya memproduksi alat militer juga bisa memproduksi alat untuk sipil.
Sepanjang tidak mempunyai perbedaan yang sangat prinsipiil antara keduanya. “Bukan hanya Boeing, sejumlah perusahaan di berbagai negara seperti Prancis yang dulunya untuk kepentingan dalam negeri, kini bersaing secara komersial,” jelas Suhardi.
Sumber : Koran-Sindo
0 Komentar untuk "Kontribusi Perekonomian Industri Pertahanan "