MALINAU (MI) : Pos penyangga perbatasan. Demikian status Pos Rayon Militer (Posramil) Kecamatan Sungai Boh, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Namun, kondisi pos ini tidak seprestisius status kemiliterannya.
Reporter Kompas.com, Fabian Januarius Kuwado, bertemu Komandan Posramil tersebut, awal Desember 2014 lalu. Pertemuan kami terjadi di sela acara safari Natal 2014 Bupati Malinau Yansen Tipa Padan ke sejumlah desa pedalaman di Malinau.
Fabian bersama fotografer Kompas.com, Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo, sejak 1 Desember 2014 turut menjelajahi pedalaman Malinau, Kalimantan Utara, dalam rangkaian safari tersebut.
Pada satu sore
Reporter Kompas.com, Fabian Januarius Kuwado, bertemu Komandan Posramil tersebut, awal Desember 2014 lalu. Pertemuan kami terjadi di sela acara safari Natal 2014 Bupati Malinau Yansen Tipa Padan ke sejumlah desa pedalaman di Malinau.
Fabian bersama fotografer Kompas.com, Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo, sejak 1 Desember 2014 turut menjelajahi pedalaman Malinau, Kalimantan Utara, dalam rangkaian safari tersebut.
Pada satu sore
Komandan Pospamtas Indonesia-Malaysia di Kecamatan Sungai Boh, Malinau, Kalimantan Utara, Sersan Kepala TNI Lalu Ubaidilah. Gambar diambil pada Minggu (7/12/2014)
"Selamat sore, Mas. Saya Lalu Ubaidilah, Danposramil Sungai Boh," lelaki tegap itu memperkenalkan diri. Jabatan tangan pria berpangkat Sersan Kepala TNI itu erat sekali, khas seorang anggota militer.Lalu adalah anggota TNI AD Satuan Raider angkatan 1997. Batalyon 613 Tarakan menjadi tempat tugas pertamanya. Dia kemudian dipindahkan ke Batalyon 600 Balikpapan. Di Posramil Sungai Boh ini dia telah memasuki tahun ketiga penugasan.
Penempatannya berada di bawah Komando Distrik Militer (Kodim) 0910 Malinau, Kalimantan Utara. Hari itu, kami mengobrol santai di teras rumah kayu milik salah satu warga.
Hari menjelang sore. Awan gelap menggelayut di langit timur. Sembari duduk di kursi kayu menghadap ke jalan depan rumah, pria yang mengenakan seragam lengkap TNI itu mulai bercerita tentang bagaimana kondisi pos penyangga perbatasan yang sesungguhnya...
Posramil Sungai Boh terletak di Desa Mahak. Secara geografis, kecamatan desa tersebut terletak sebelum Kecamatan Kayan Selatan, kecamatan yang langsung bersinggungan dengan perbatasan Indonesia-Malaysia. "Makanya, pos kami ini berstatus penyangga perbatasan. Kami berada di second line," ujar Lalu.
Letak di garis kedua terdepan bukan berarti berfungsi pelengkap pertahanan semata. Sebagai pos penyangga perbatasan, ia juga punya fungsi strategis pertahanan.
Pertama, pos ini berfungsi sebagai pemantau potensi penyelundupan barang, baik dari Indonesia ke Malaysia maupun sebaliknya. Kedua, penyangga perbatasan juga menjadi titik distribusi barang dari kota-kota besar di Kalimantan ke perkampungan di perbatasan.
Sejak beberapa tahun terakhir, barang-barang kebutuhan warga perbatasan sudah mulai dipasok dari dalam negeri. Hal itu terjadi begitu Pemerintah Kabupaten Malinau membuka jalan dari kota ke desa-desa itu.
"Kalau dulu kan barang-barang dari Malaysia semua. Sekarang sudah bagus, barang-barang dari Samarinda dan kota lain," ujar Lalu. (Baca: "Dulu, Orang Indonesia Sudah kayak Pencuri...").
Ketiga, pos penyangga juga menjadi sumber bala bantuan terdekat jika terjadi gangguan keamanan di pos perbatasan Indonesia-Malaysia, Pos Long Nawang, lokasi yang sering disebut sebagai beranda Nusantara.
Ironi
Di tengah tanggung jawab sebagai garis kedua pertahanan, Posramil tempat Lalu bertugas ternyata masih menumpang bangunan milik warga. Lalu dan rekannya juga mesti berkebun untuk memenuhi nutrisi mereka sendiri selama bertugas. Bahkan, mereka sering kali membantu panen warga demi mendapatkan hasil panen yang disisihkan.
Bagaimana kondisi mereka selengkapnya? Bagaimana mereka bisa bertahan di tengah tanggung jawab yang besar? Apa kata atasan melihat kondisi mereka? Ironi di penyangga perbatasan akan Kompas.com tuturkan lewat penggalan artikel selanjutnya. Tunggu kisah mereka di bagian kedua tulisan ini
"Selamat sore, Mas. Saya Lalu Ubaidilah, Danposramil Sungai Boh," lelaki tegap itu memperkenalkan diri. Jabatan tangan pria berpangkat Sersan Kepala TNI itu erat sekali, khas seorang anggota militer.
Pada satu sore di awal Desember 2014, reporter Fabian Januarius Kuwado berkesempatan berbincang dengan Lalu, di sela Safar Jelang Natal 2014 bersama Bupati Malinau, Yansen Tipa Padan. Fabian mengikuti safari ini bersama fotografer Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo.
Pos pinjaman dari bekas warung
Hari kian sore. Awan hitam yang sebelumnya hanya mengintai di langit timur, kini mulai merangsek tepat di atas rumah kayu, tempat kami dan Lalu mengobrol. Hari menjelang hujan.
Posisi kami belum berubah. Lalu duduk di kursi kayu menghadap ke jalan. Sementara saya menghalangi pandangannya ke jalan. Yang berubah hanya munculnya kepulan asap rokok yang disesap ayah tiga anak tersebut.
"Kondisi kami di sini cukup memprihatinkan, Mas," ujar pria yang sudah berpindah ke tiga Batalyon di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia tersebut.
Posramil Sungai Boh terletak di Desa Mahak. Secara geografis, kecamatan desa tersebut terletak sebelum Kecamatan Kayan Selatan, kecamatan yang langsung bersinggungan dengan perbatasan Indonesia-Malaysia. Oleh sebab itu, pos tersebut berstatus penyangga perbatasan.
Lalu baru bertugas selama tiga tahun di pos penyangga perbatasan. Namun, dia tahu betul bagaimana sejarah berdirinya pos tersebut. "Pos kami berada di Desa Mahak. Pos itu baru didirikan sekitar tahun 1990. Namun, baru beberapa tahun saja, posnya rubuh diterjang angin," ujar dia.
Pertanyaan besar yang menghinggapi benak para pendahulu Lalu adalah mencari pengganti tempat berteduh dan bekerja. Membangun pos baru bukan pilihan tepat saat itu. Komunikasi dengan warga adat pun jadi alternatif yang tersedia.
Proses komunikasi cukup panjang harus dilakukan sebelum para prajurit diizinkan menggunakan sebuah bangunan bekas warung kayu milik warga di pinggir kampung sebagai Posramil. Saat itu, kondisi bekas warung tersebut jauh dari kata "layak".
Meski cukup luas, berukuran sekitar 6x12 meter persegi, tidak ada satu pun perabotan tersedia. Catnya luntur, seluruh interior penuh debu dan sarang laba-laba, beberapa papan kayu pun bolong.
"Akhirnya personel memperbaikinya sendiri. Ya Alhamdulilah, sekarang sudah kelihatan, kalau bisa dibilang kantor, ya kantorlah," ujar Lalu.
Papan luar pos dicat hijau. Papan yang bolong diganti sendiri. Seluruh ruangan dalam dibersihkan dari debu. Ruangan dalam yang tadinya los--melompong--diberi sekat. Jadilah 7 ruangan, mulai dari tempat laporan dan ruang tamu, lima kamar personel, serta dapur di bagian belakang.
Biaya perbaikan warung yang disulap jadi pos itu? Dari kantong para prajurit yang saat itu bertugas di sana. Selebihnya mengandalkan bantuan masyarakat adat setempat, terutama untuk penyediaan papan kayu untuk dinding pos.
Tak ada respons
Tentu, kondisi pos tetap saja jauh dari standar. Mestinya, pos sekelas penyangga perbatasan memiliki fasilitas olahraga, gudang senjata, dan ruangan tahanan. Namun, apa daya? Bagi mereka, ada bangunan untuk kantor saja sudah beruntung.
Semula, tutur Lalu, peminjaman warung untuk pos tersebut hanya untuk langkah darurat. Rubuhnya pos juga sudah dilaporkan. Namun, waktu berlalu, respons tak ada. Alhasil, sampai hari ini, bekas warung tersebut tetap menjadi kantor bagi Lalu dan lima personel lain.
Seiring dengan waktu, kekhawatiran muncul, yaitu untuk sewaktu-waktu pemilik warung meminta kembali bangunan itu. Bagaimana tugas sebagai pos penyangga perbatasan? Sembari menata posisi baret hijaunya, Lalu menjawab sendiri kekhawatiran itu dengan berkata, "Sebagai prajurit, kami tak boleh mengeluh. Apa yang ada ya itu saja yang kami jaga dan rawat."
Persoalan juga bukan soal pos yang sejatinya adalah bekas warung dan berstatus pinjaman. Kehidupan prajurit di pos ini juga tak sederhana. Tak ada keluarga mendampingi, tunjangan kesejahteraan tak seberapa, harga barang tinggi, sementara aneka kebutuhan menyesaki keseharian mereka.
Pada satu sore di awal Desember 2014, reporter Fabian Januarius Kuwado berkesempatan berbincang dengan Lalu, di sela Safar Jelang Natal 2014 bersama Bupati Malinau, Yansen Tipa Padan. Fabian mengikuti safari ini bersama fotografer Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo.
Pos pinjaman dari bekas warung
Hari kian sore. Awan hitam yang sebelumnya hanya mengintai di langit timur, kini mulai merangsek tepat di atas rumah kayu, tempat kami dan Lalu mengobrol. Hari menjelang hujan.
Posisi kami belum berubah. Lalu duduk di kursi kayu menghadap ke jalan. Sementara saya menghalangi pandangannya ke jalan. Yang berubah hanya munculnya kepulan asap rokok yang disesap ayah tiga anak tersebut.
"Kondisi kami di sini cukup memprihatinkan, Mas," ujar pria yang sudah berpindah ke tiga Batalyon di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia tersebut.
Posramil Sungai Boh terletak di Desa Mahak. Secara geografis, kecamatan desa tersebut terletak sebelum Kecamatan Kayan Selatan, kecamatan yang langsung bersinggungan dengan perbatasan Indonesia-Malaysia. Oleh sebab itu, pos tersebut berstatus penyangga perbatasan.
Lalu baru bertugas selama tiga tahun di pos penyangga perbatasan. Namun, dia tahu betul bagaimana sejarah berdirinya pos tersebut. "Pos kami berada di Desa Mahak. Pos itu baru didirikan sekitar tahun 1990. Namun, baru beberapa tahun saja, posnya rubuh diterjang angin," ujar dia.
Pertanyaan besar yang menghinggapi benak para pendahulu Lalu adalah mencari pengganti tempat berteduh dan bekerja. Membangun pos baru bukan pilihan tepat saat itu. Komunikasi dengan warga adat pun jadi alternatif yang tersedia.
Proses komunikasi cukup panjang harus dilakukan sebelum para prajurit diizinkan menggunakan sebuah bangunan bekas warung kayu milik warga di pinggir kampung sebagai Posramil. Saat itu, kondisi bekas warung tersebut jauh dari kata "layak".
Meski cukup luas, berukuran sekitar 6x12 meter persegi, tidak ada satu pun perabotan tersedia. Catnya luntur, seluruh interior penuh debu dan sarang laba-laba, beberapa papan kayu pun bolong.
"Akhirnya personel memperbaikinya sendiri. Ya Alhamdulilah, sekarang sudah kelihatan, kalau bisa dibilang kantor, ya kantorlah," ujar Lalu.
Papan luar pos dicat hijau. Papan yang bolong diganti sendiri. Seluruh ruangan dalam dibersihkan dari debu. Ruangan dalam yang tadinya los--melompong--diberi sekat. Jadilah 7 ruangan, mulai dari tempat laporan dan ruang tamu, lima kamar personel, serta dapur di bagian belakang.
Biaya perbaikan warung yang disulap jadi pos itu? Dari kantong para prajurit yang saat itu bertugas di sana. Selebihnya mengandalkan bantuan masyarakat adat setempat, terutama untuk penyediaan papan kayu untuk dinding pos.
Tak ada respons
Tentu, kondisi pos tetap saja jauh dari standar. Mestinya, pos sekelas penyangga perbatasan memiliki fasilitas olahraga, gudang senjata, dan ruangan tahanan. Namun, apa daya? Bagi mereka, ada bangunan untuk kantor saja sudah beruntung.
Semula, tutur Lalu, peminjaman warung untuk pos tersebut hanya untuk langkah darurat. Rubuhnya pos juga sudah dilaporkan. Namun, waktu berlalu, respons tak ada. Alhasil, sampai hari ini, bekas warung tersebut tetap menjadi kantor bagi Lalu dan lima personel lain.
Seiring dengan waktu, kekhawatiran muncul, yaitu untuk sewaktu-waktu pemilik warung meminta kembali bangunan itu. Bagaimana tugas sebagai pos penyangga perbatasan? Sembari menata posisi baret hijaunya, Lalu menjawab sendiri kekhawatiran itu dengan berkata, "Sebagai prajurit, kami tak boleh mengeluh. Apa yang ada ya itu saja yang kami jaga dan rawat."
Persoalan juga bukan soal pos yang sejatinya adalah bekas warung dan berstatus pinjaman. Kehidupan prajurit di pos ini juga tak sederhana. Tak ada keluarga mendampingi, tunjangan kesejahteraan tak seberapa, harga barang tinggi, sementara aneka kebutuhan menyesaki keseharian mereka.
Jalan yang harus dilintasi dalam perjalanan dari Desa Desa Sungai Anai ke Desa Data Dian, di Kayan Hilir, Malinau, Kalimantan Utara, Sabtu (6/12/2014).
Pos Rayon Militer Kecamatan Sungai Boh, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, ini menumpang di bekas warung milik warga setempat, setelah pos semula rubuh diterjang angin. Namun, persoalan yang menghadang para prajurit di pos ini tak semata status "kantor" mereka.
Satu masalah lagi yang nyata di depan mata, bertahan hidup. Enam prajurit hidup tanpa didampingi keluarga di pos ini, dengan tunjangan tak seberapa, harga barang tinggi, sementara aneka kebutuhan menyesaki keseharian mereka.
Kompas.com--reporter Fabian Januarius Kuwado beserta fotografer Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo--berkesempatan turut menjelajah Malinau bersama Bupati Yansen Tipa Padan sejak 1 Desember 2014. Dalam salah satu bagian perjalanan, Kompas.com bertemu dengan Komandan Posramil Sungai Boh, Lalu Ubaidillah.
Bertahan hidup
Setiap kali penanggalan memasuki bulan kedua, senyum Lalu dan lima rekannya sedikit membuncah. Pada bulan itu, masa panen padi tiba.
Di masa panen, Lalu dan rekannya membantu masyarakat adat menuai hasil dari delapan bulan warga menanam. Harapannya, mereka mendapatkan tambahan karbohidrat sehari-hari.
"Kalau kami membantu, pasti dikasih sedikit dari hasil panen. Nah, itu buat kami makan sehari-hari," ujar Lalu.
Tidak hanya padi, panen singkong, nanas, atau komoditas lain milik warga pun jadi pekerjaan sampingan Lalu dan kawan-kawan. Tujuannya tidak lain, semata memperbaiki asupan nutrisi.
Selain masa panen, harapan soal "kualitas" isi perut enam prajurit ini adalah saat masyarakat pulang berburu dengan membawa binatang tangkapan. Keberuntungan bakal turut hinggap di meja enam prajurit ini, ketika ada payau (sejenis rusa), beruang, ikan, atau biawak didapat warga selama berburu.
"Ya maklum. Menu utama kami sehari-hari itu nasi, mi instan, daun singkong, dan ikan asin," sebut Lalu.
Lantas, bagaimana jika masa panen masih jauh? Bagaimana jika masyarakat tak berburu binatang hutan? Mata Lalu hanya menatap jauh, ketika pertanyaan itu dilontarkan.
"Pekerjaan sampingan" bagi prajurit dengan penempatan seperti Lalu, tak terhindarkan lagi. "Gaji pokok itu sudah tidak bisa diutak-utik, Mas. Pasti untuk anak istri di rumah," lanjut dia.
Per bulan, seorang prajurit TNI berpangkat setingkat Lalu mendapatkan tunjangan sebesar Rp 400.000. Jumlah itu jelas tak seberapa, ketika disebutkan satu kilogram beras berharga Rp 30.000, itu pun setelah didatangkan dari Samarinda, tak lagi dari Malaysia.
Belum lagi, saat Lalu berpatroli menggunakan satu unit motor dinas dari pusat. Terkadang, bahan bakar minyak (BBM) menyedot dana tunjangan yang sudah tak seberapa itu.
Lalu mengaku sering merasa malu. Keberadaan TNI di perbatasan seharusnya menjadi lambang negara yang gagah, berwibawa, mandiri serta menjadi teladan bagi masyarakat.
Namun, di sini justru mereka menumpang bangunan warga dan berharap pada "pekerjaan sampingan" dari warga--hanya untuk bertahan hidup--jangankan tampil gagah sebagai penjaga penyangga beranda negara.
Cerita yang meluncur dari penuturan Lalu, tak terasa turut menyeret waktu. Gelap sudah menyelimuti tempat kami berbincang. "Ya ini saya hanya cerita saja bagaimana kami di sini. Saya pamit dulu, Mas. Ada tugas lain," ujar Lalu. Kami kembali berjabat tangan erat.
Sayup-sayup, saya teringat janji Presiden Joko Widodo yang akan meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI dan Polri. Entah, Lalu dan rekannya tahu atau tidak soal janji itu.
Yang jelas sudah berjalan selama ini dan entah sampai kapan berlanjut, adalah seperti kata Lalu, "Sebagai prajurit, kami tak boleh mengeluh. Apa yang ada ya itu saja yang kami jaga dan rawat." Entah
Satu masalah lagi yang nyata di depan mata, bertahan hidup. Enam prajurit hidup tanpa didampingi keluarga di pos ini, dengan tunjangan tak seberapa, harga barang tinggi, sementara aneka kebutuhan menyesaki keseharian mereka.
Kompas.com--reporter Fabian Januarius Kuwado beserta fotografer Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo--berkesempatan turut menjelajah Malinau bersama Bupati Yansen Tipa Padan sejak 1 Desember 2014. Dalam salah satu bagian perjalanan, Kompas.com bertemu dengan Komandan Posramil Sungai Boh, Lalu Ubaidillah.
Bertahan hidup
Setiap kali penanggalan memasuki bulan kedua, senyum Lalu dan lima rekannya sedikit membuncah. Pada bulan itu, masa panen padi tiba.
Di masa panen, Lalu dan rekannya membantu masyarakat adat menuai hasil dari delapan bulan warga menanam. Harapannya, mereka mendapatkan tambahan karbohidrat sehari-hari.
"Kalau kami membantu, pasti dikasih sedikit dari hasil panen. Nah, itu buat kami makan sehari-hari," ujar Lalu.
Tidak hanya padi, panen singkong, nanas, atau komoditas lain milik warga pun jadi pekerjaan sampingan Lalu dan kawan-kawan. Tujuannya tidak lain, semata memperbaiki asupan nutrisi.
Selain masa panen, harapan soal "kualitas" isi perut enam prajurit ini adalah saat masyarakat pulang berburu dengan membawa binatang tangkapan. Keberuntungan bakal turut hinggap di meja enam prajurit ini, ketika ada payau (sejenis rusa), beruang, ikan, atau biawak didapat warga selama berburu.
"Ya maklum. Menu utama kami sehari-hari itu nasi, mi instan, daun singkong, dan ikan asin," sebut Lalu.
Lantas, bagaimana jika masa panen masih jauh? Bagaimana jika masyarakat tak berburu binatang hutan? Mata Lalu hanya menatap jauh, ketika pertanyaan itu dilontarkan.
"Pekerjaan sampingan" bagi prajurit dengan penempatan seperti Lalu, tak terhindarkan lagi. "Gaji pokok itu sudah tidak bisa diutak-utik, Mas. Pasti untuk anak istri di rumah," lanjut dia.
Per bulan, seorang prajurit TNI berpangkat setingkat Lalu mendapatkan tunjangan sebesar Rp 400.000. Jumlah itu jelas tak seberapa, ketika disebutkan satu kilogram beras berharga Rp 30.000, itu pun setelah didatangkan dari Samarinda, tak lagi dari Malaysia.
Belum lagi, saat Lalu berpatroli menggunakan satu unit motor dinas dari pusat. Terkadang, bahan bakar minyak (BBM) menyedot dana tunjangan yang sudah tak seberapa itu.
Lalu mengaku sering merasa malu. Keberadaan TNI di perbatasan seharusnya menjadi lambang negara yang gagah, berwibawa, mandiri serta menjadi teladan bagi masyarakat.
Namun, di sini justru mereka menumpang bangunan warga dan berharap pada "pekerjaan sampingan" dari warga--hanya untuk bertahan hidup--jangankan tampil gagah sebagai penjaga penyangga beranda negara.
Cerita yang meluncur dari penuturan Lalu, tak terasa turut menyeret waktu. Gelap sudah menyelimuti tempat kami berbincang. "Ya ini saya hanya cerita saja bagaimana kami di sini. Saya pamit dulu, Mas. Ada tugas lain," ujar Lalu. Kami kembali berjabat tangan erat.
Sayup-sayup, saya teringat janji Presiden Joko Widodo yang akan meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI dan Polri. Entah, Lalu dan rekannya tahu atau tidak soal janji itu.
Yang jelas sudah berjalan selama ini dan entah sampai kapan berlanjut, adalah seperti kata Lalu, "Sebagai prajurit, kami tak boleh mengeluh. Apa yang ada ya itu saja yang kami jaga dan rawat." Entah
Kisah Ban Mobil Dikempisi di Perbatasan Indonesia-Malaysia
Ada banyak cerita yang didapatkan saat mengunjungi Malinau, Kalimantan Utara, beberapa waktu lalu. Salah satunya, cerita di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, yang dikisahkan Komandan Pos Pengamanan Perbatasan (Pospamtas) Long Nawang, Kecamatan Kayan Hilir, Malinau, Kalimantan Utara, Letnan Dua TNI Sudirman, kepada Kompas.com.
Cerita itu tentang ban mobil warga negara Indonesia yang kempis saat menjemput saudaranya yang kembali setelah bekerja di Malaysia. Sudirman menduga, yang melakukan pengempisan adalah aparat negeri jiran.
"Sekitar dua minggu lalu, ada warga negara Indonesia yang ingin menjemput saudaranya usai bekerja di Malaysia," ujar Sudirman, di Pospamtas Long Betaoh.
Keluarga tenaga kerja Indonesia tersebut, kata Sudirman, berangkat berombongan menggunakan satu unit mobil ke titik perbatasan Indonesia-Malaysia di Long Nawang. Mereka diperbolehkan menjemput saudaranya di Tapak Mega, pos penjagaan Malaysia. Sesampainya di sana, rombongan keluarga itu turun dari mobil untuk menjemput saudaranya di pos jaga, hingga akhirnya mereka bertemu.
Akan tetapi, saat kembali ke mobil, mereka mendapati empat ban mobilnya dalam keadaan kempis.
"Kami kan menunggu di pos kami, kok lama sekali mereka pulangnya. Ternyata mereka baru bisa pulang keesokan harinya karena ban kempis," ujar Sudirman.
Keluarga tersebut mengadukan peristiwa itu kepada TNI. Satu hari kemudian, Sudirman dan beberapa anggota TNI lainnya bertolak ke Pos Tapak Mega. Mereka ingin mengonfirmasi kejadian yang menimpa WNI di pos tersebut.
"Saya nanya ke komandan pos Malaysia. Dia nanya lagi ke anak buahnya. Enggak ada yang mengaku siapa yang mengempisi ban mobil WNI," lanjut dia.
Akhirnya, Sudirman memutuskan untuk tidak memperpanjang persoalan. Dia dan anak buah kembali lagi ke pos perbatasan dengan hasil nihil. Meski tak jelas siapa yang melakukan, dia menyayangkan peristiwa itu.
Cerita itu tentang ban mobil warga negara Indonesia yang kempis saat menjemput saudaranya yang kembali setelah bekerja di Malaysia. Sudirman menduga, yang melakukan pengempisan adalah aparat negeri jiran.
"Sekitar dua minggu lalu, ada warga negara Indonesia yang ingin menjemput saudaranya usai bekerja di Malaysia," ujar Sudirman, di Pospamtas Long Betaoh.
Keluarga tenaga kerja Indonesia tersebut, kata Sudirman, berangkat berombongan menggunakan satu unit mobil ke titik perbatasan Indonesia-Malaysia di Long Nawang. Mereka diperbolehkan menjemput saudaranya di Tapak Mega, pos penjagaan Malaysia. Sesampainya di sana, rombongan keluarga itu turun dari mobil untuk menjemput saudaranya di pos jaga, hingga akhirnya mereka bertemu.
Akan tetapi, saat kembali ke mobil, mereka mendapati empat ban mobilnya dalam keadaan kempis.
"Kami kan menunggu di pos kami, kok lama sekali mereka pulangnya. Ternyata mereka baru bisa pulang keesokan harinya karena ban kempis," ujar Sudirman.
Keluarga tersebut mengadukan peristiwa itu kepada TNI. Satu hari kemudian, Sudirman dan beberapa anggota TNI lainnya bertolak ke Pos Tapak Mega. Mereka ingin mengonfirmasi kejadian yang menimpa WNI di pos tersebut.
"Saya nanya ke komandan pos Malaysia. Dia nanya lagi ke anak buahnya. Enggak ada yang mengaku siapa yang mengempisi ban mobil WNI," lanjut dia.
Akhirnya, Sudirman memutuskan untuk tidak memperpanjang persoalan. Dia dan anak buah kembali lagi ke pos perbatasan dengan hasil nihil. Meski tak jelas siapa yang melakukan, dia menyayangkan peristiwa itu.
Sumber : KOMPAS
0 Komentar untuk "Ironi Pos Penyangga Perbatasan Indonesia-Malaysia"