Indo Artileri

Kembalilah Jaya Indonesiaku

Kami Membutuhkanmu Soekarno

Kembalilah

Kisah Si Pejuang Seroja Tanpa Tangan

Kisah Si Pejuang Seroja Tanpa Tangan
Pasukan Falintal, sayap militer Fretilin, berpawai pada 2002. Pasukan ini terus melakukan perlawanan terhadap TNI saat Timor Leste di bawah kekuasaan Indonesia.

Jakarta (MI) : "Perang itu tidak enak," kata veteran Operasi Seroja, Kolonel Ronny Muaway, saat ditemui CNN Indonesia di Kompleks Wisma Seroja, Bekasi Utara, Kamis (6/11).

Saat bercakap-cakap, tangan kanan lelaki paruh baya berusia 66 tahun itu terlihat bergerak dengan aktif, sementara tangan kirinya, tampak pasif terkulai.

Jika dilihat sepintas, Ronny tampak seperti orang kebanyakan yang memiliki anggota tubuh utuh dan wajah lelaki tua itu juga masih terlihat segar dan enerjik.

Hidup seolah menawarkan pilihan-pilihan yang bagus dan kebanyakan membuahkan hasil.

Namun, pada kenyataanya tidak seperti itu.

Dibalik baju batik hijau yang dia kenakan, tersembunyi pengalaman pahit, kisah sedih.

Satu tangan palsu seakan menjadi kenangan pengalamannya sebagai seorang pejuang.

Tiga puluh lima tahun silam, Ronny adalah anggota Batalion 502 Linud Kostrad berpangkat kapten yang ditugaskan sebagai komandan kompi dalam Operasi Seroja di Timor Leste, saat itu masih bernama Timor-Timur.

Operasi Seroja merupakan kata sandi militer Indonesia untuk operasi invasi ke Timor Timur pada 7 Desember 1975.
 
Para pemuda terlibat kerusuhan di Dili pada 2006. Perlawanan kaum muda dan mahasiswa terus mewarnai kekuasaan Indonesia di Timor Leste. (Getty Images/Paula Bronstein)
Operasi tersebut dilakukan karena saat itu Timor Timur dalam keadaan kacau balau setelah terjadi perebutan kekuasaan antara Fretilin yang berhaluan komunis dan partai-partai lain setelah ditinggal oleh penjajah Portugal.

Sedangkan menurut versi orde baru pemerintah Indonesia operasi itu dilakukan karena desakan Amerika Serikat dan Australia yang menginginkan kelompok Fretilin yang berpaham komunis tidak berkuasa di Timor-Timur, dan juga begitu banyak aliran pengungsi yang memasuki wilayah Indonesia.   

Ronny ditugaskan ke lokasi Gunung Matebean, salah satu gunung tertinggi di Tanah Lorosae, Timor Leste, untuk membantu pasukan lain yang nyaris kalah ketika sepertiga dari jumlah pasukan Indonesia tewas. 

"Satu orang gugur saja sudah sangat berpengaruh ke psikologis teman-temannya. Apalagi, ketika 30 orang gugur dalam satu peristiwa," kata Ronny mengenang. 

Pertempuran ini, menurut Ronny, berlangsung hebat karena pasukan Fretilin memberi perlawanan luar biasa dan mereka dipersenjatai dengan peralatan standar yang digunkana oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO. 

Sementara pasukan Indonesia hanya menggunakan senjata api semi-otomatis M1 Garand, yang merupakan senapan standar infantri warisan dari Perang Dunia II. 

"Di pertempuran itu saya kena tembak dan langsung pingsan. Yang parah adalah saat itu sulit sekali untuk melakukan evakuasi," kata dia. 

Setelah tertembak, Ronny tidak ingat yang terjadi selanjutnya di medan pertempuran, ketika membuka mata dia sudah berada di rumah sakit satu minggu kemudian.

Meski luka parah dan kehilangan tangan, Ronny bersyukur masih tetap hidup.

Meski tidak ingat akan kejadian setelah dia ditembak, Kolonel Ronny kerap membayangkan proses evakuasi yang membuatnya bergidik karena medan lokasi pertempuran yang sangat sulit. 

Kondisi Gunung Matebean yang dipenuhi bebatuan dan sangat tinggi mempersulit gerak pasukan dan tentara yang luka akibat tembakan musuh harus menjalani sejumlah tahapan evakuasi.

Pertama mereka harus dibawa ke daerah aman, dan perjalanan ke sana juga diwarnai oleh perluru yang berdesing di sekitar mereka. "Itu juga syukur sekali kalau tidak tertembak," kata Ronny mengenang.
 
Kolonel Ronny Muaya kehilangan tangan kanan saat operasi Seroja 1976 dan menyesalkan perjuangannya sis-sia.(CNN Indonesia/Rinaldy Sofwan)
Setelah keadaan benar-benar aman barulah tentara yang terluka dibawa ke rumah sakit terdekat. 

Saat bercerita tentang tragedi yang dideritanya, Kolonel Ronny sontak meraba tangannya, dia teringat betapa dia marah dan merasa frustasi ketika menyadari tangannya tidak bisa diselamatkan lagi.  

"Saya terbangun di rumah sakit dan langsung ingat tangan saya yang tertembak. Saat saya pegang, tangan saya sudah tidak ada," kata dia.

Perasaan sang kolonel pun mengharu biru, bayangan akan karir di dunia militer pun berkelindan memenuhi pikirannya karena dia tidak mau karirnya tamat setelah berjuang keras untuk berada di posisinya saat itu. 

Kolonel Ronny, yang saat itu masih berpangkat kapten,  marah. Dia berteriak kepada dokter dan berontak atas ketidakadilan yang menimpanya.

Dokter dan perawatpun harus mengikat lelaki itu di tempat tidur, dan pada akhirnya Ronny memilih untuk  secara perlahan meresapi rasa kehilangan dan kekecewaannya yang sebegitu besar akan nasib yang dia terima saat itu. 

Setelah perjuangan besar untuk mengalahkan dirinya dan menerima apa yang disajikan oleh hidup atasnya, Ronny mesti menghadapi kenyataan pahit lain.

Upaya keras menyerahkan segala tetes darah dan keringat untuk mempertahankan Timor Leste berakhir dengan sia-sia setelah pada 2002 wilayah itu melepaskan diri dari kekuasaan Indonesia. 

Negara itu memilih kebebasannya sendiri dengan cara yang terasa sangat pahit bagi pejuang-pejuang Operasi Seroja seperti dirinya.

Ronny merasa semua perjuangan, rasa sakit dan kehilangan yang dialami dalam mempertahankan Timor Leste sebagai bagian dari Indonesia akhirnya tak berbayar. 

"Tapi sudahlah, itu kan keputusan politis negara. Kini, yang tersisa hanya kami yang sudah cacat dan para janda-jada Seroja," kata Ronny. 

Di usianya yang sudah memasuki senja, lelaki paruh baya itu memilih untuk pasrah dan melepaskan semua kekecewaan-kekecewaannya atas hidup dan takdir.

Kini, lelaki itu menjalani kehidupannya sehari-hari di Kompleks Wisma Seroja bersama dua ratusan veteran lainnya. 
Sumber : CNN
0 Komentar untuk "Kisah Si Pejuang Seroja Tanpa Tangan"

 
Copyright © 2014 Indo Artileri - All Rights Reserved
Template By. Catatan Info