MAHAKAM ULU (MI) : Sedikitnya ada 10 desa perbatasan Malaysia yang mengancam akan menurunkan bendera merah putih, dan mengibarkan bendera Malaysia. Ancaman warga perbatasan di Kecamatan Long Apari, Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ini, sangat serius jika tidak segera mendapatkan tanggapan.
Warga desa di daerah berbatasan dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia ini, menganggap perhatian Pemerintah Indonesia sangat minim. Ke-10 desa itu adalah Desa Long Apari, Long Penaneh 1, Long Penaneh 2, Long Penaneh 3, Long Kriyok, Tiong Buu, Tiong Ohang, Kampung Baru, Naha Tifaf, dan Desa Naha Silat.
Dulu, desa-desa ini menjadi bagian Kabupaten Kutai Barat. Setelah pemekaran, kawasan perbatasan ini masuk ke dalam Kabupaten Mahakam Ulu, yang masih dijabat penjabat bupati.
Kepala Desa Long Penaneh 1 Batoq Laga mengaku, dia bersama warganya sudah cukup bersabar. Mereka bersabar dari janji pemerintah membenahi infrastruktur warga perbatasan. Akibat persoalan infrastruktur yang masih minim, harga kebutuhan pokok di kawasan itu melambung tinggi.
“Kita sudah sangat bersabar, namun tak ada kepastian, kapan ada keseriusan pembenahan infrastruktur. Kalau begini terus, kita tentu berpikir untuk bergabung ke Malaysia saja, dengan harapan perhatian lebih,” kata Batoq Laga, Rabu (22/10/2014).
Dia menceritakan, kondisi warganya sudah sangat memprihatinkan. Pasokan kebutuhan sangat bergantung dari transportasi Sungai Mahakam. Harganya pun sudah tentu melambung tinggi.
“Satu karung beras yang beratnya 25 kilogram harganya sudah Rp600 ribu. Sedangkan bensin satu botol eceran sudah Rp25 ribu. Mahal sekali kan?” katanya.
Sementara itu, Kepala Desa Tiong Ohang Tibun Bala mengaku hal serupa. Selain infrastruktur, kawasannya merupakan area blank spot atau tak ada sinyal telekomunikasi sama sekali. Siaran Lembaga Penyiaran Publik milik pemerintah seperti RRI dan TVRI pun tak ada.
“Persoalan ini sudah sering kami sampaikan ke pemerintah provinsi, maupun mencoba ke pemerintah pusat. Namun hingga kini, tak ada realisasi sama sekali,” ungkapnya.
Batoq menjelaskan, secara umum warga hanya mengeluhkan tiga hal yang harus terpenuhi. Ketiganya adalah sembako yang terlalu mahal, bahan bakar minyak yang juga melambung tinggi, serta akses telekomunikasi.
“Di sini ada Wartel (Warung Telekomunikasi) yang menggunakan satelit. Tapi sangat mahal,” katanya.
Berdasarkan pengamatan langsung, kondisi desa di perbatasan ini memang sangat memprihatinkan. Satu-satunya akses ke desa-desa ini dari pusat Provinsi Kaltim, Samarinda, harus melalui penerbangan perintis.
Dari Samarinda, warga ke-10 desa ini bisa menggunakan penerbangan perintis bersubsidi menuju Bandara Datah Dawai, Desa Long Lunuk, Kecamatan Long Pahangai. Penerbangan tak setiap hari. Hanya ada pada Senin, Rabu, dan Minggu, dengan maskapai Avia Star dan Susi Air. Pesawat kecil ini pun terbang tergantung cuaca. Jika cuaca buruk, penerbangan sering dibatalkan.
Dari Desa Long Lunuk, perjalanan harus ditempuh dengan menggunakan kapal kecil terbuat dari kayu dengan mesin yang biasa disebut warga sebagai kapal ces. Biaya perjalanan kapal tergantung kondisi pasang surut air sungai.
Jika air pasang, warga desa merogoh kocek Rp1 juta untuk satu perahu untuk sampai di Desa Tiong Ohang. Jika sungai surut seperti saat ini yang sedang kemarau panjang, biaya yang harus dikeluarkan bisa jauh lebih banyak. Pasalnya, mereka harus berganti perahu.
“Kalau sungai surut, ada banyak giram yang tak bisa dilewati perahu itu. Jadi jika ada giram tinggi, warga desa harus ganti perahu. Pergantian perahu tergantung banyaknya giram,” kata tokoh adat Long Apari, Yohanes Ibo.
Desa ini juga tak memiliki aliran listrik sama sekali. Sebagian warga yang mampu, memiliki genset pribadi. Namun sebagian besar warga hidup dalam kegelapan di malam hari.
Untuk saat ini warga berharap, satu per satu infrastruktur bisa terbangun. Harapan paling realistis warga yang bisa segera teralisasi adalah sinyal telekomunikasi, karena sudah terbangun tower BTS.
“Kalian harus tahu, televisi kami hanya menangkap siaran dari Malaysia. Siaran radio juga. Coba bayangkan jika desa-desa ini bergabung dengan Malaysia, jangankan sinyal HP, infrastruktur pasti bagus,” katanya.
Tak heran jika banyak warga desa menyuarakan agar desa-desa di perbatasan ini bergabung ke Malaysia saja. Menurut mereka, lebih sejahtera jika di kawasan ini berkibar bendera Malaysia, ketimbang bendera merah putih.
“Kami memang seperti anak tiri. Tapi hati kami sejatinya sangat cinta Indonesia. Nenek moyang kami ikut mempertahankan setiap jengkal tanah ini demi NKRI. Wajar saja kalau warga desa di perbatasan marah karena merasakan kondisi yang tak pernah berubah,” kata Yohanes.
Warga desa di daerah berbatasan dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia ini, menganggap perhatian Pemerintah Indonesia sangat minim. Ke-10 desa itu adalah Desa Long Apari, Long Penaneh 1, Long Penaneh 2, Long Penaneh 3, Long Kriyok, Tiong Buu, Tiong Ohang, Kampung Baru, Naha Tifaf, dan Desa Naha Silat.
Dulu, desa-desa ini menjadi bagian Kabupaten Kutai Barat. Setelah pemekaran, kawasan perbatasan ini masuk ke dalam Kabupaten Mahakam Ulu, yang masih dijabat penjabat bupati.
Kepala Desa Long Penaneh 1 Batoq Laga mengaku, dia bersama warganya sudah cukup bersabar. Mereka bersabar dari janji pemerintah membenahi infrastruktur warga perbatasan. Akibat persoalan infrastruktur yang masih minim, harga kebutuhan pokok di kawasan itu melambung tinggi.
“Kita sudah sangat bersabar, namun tak ada kepastian, kapan ada keseriusan pembenahan infrastruktur. Kalau begini terus, kita tentu berpikir untuk bergabung ke Malaysia saja, dengan harapan perhatian lebih,” kata Batoq Laga, Rabu (22/10/2014).
Dia menceritakan, kondisi warganya sudah sangat memprihatinkan. Pasokan kebutuhan sangat bergantung dari transportasi Sungai Mahakam. Harganya pun sudah tentu melambung tinggi.
“Satu karung beras yang beratnya 25 kilogram harganya sudah Rp600 ribu. Sedangkan bensin satu botol eceran sudah Rp25 ribu. Mahal sekali kan?” katanya.
Sementara itu, Kepala Desa Tiong Ohang Tibun Bala mengaku hal serupa. Selain infrastruktur, kawasannya merupakan area blank spot atau tak ada sinyal telekomunikasi sama sekali. Siaran Lembaga Penyiaran Publik milik pemerintah seperti RRI dan TVRI pun tak ada.
“Persoalan ini sudah sering kami sampaikan ke pemerintah provinsi, maupun mencoba ke pemerintah pusat. Namun hingga kini, tak ada realisasi sama sekali,” ungkapnya.
Batoq menjelaskan, secara umum warga hanya mengeluhkan tiga hal yang harus terpenuhi. Ketiganya adalah sembako yang terlalu mahal, bahan bakar minyak yang juga melambung tinggi, serta akses telekomunikasi.
“Di sini ada Wartel (Warung Telekomunikasi) yang menggunakan satelit. Tapi sangat mahal,” katanya.
Berdasarkan pengamatan langsung, kondisi desa di perbatasan ini memang sangat memprihatinkan. Satu-satunya akses ke desa-desa ini dari pusat Provinsi Kaltim, Samarinda, harus melalui penerbangan perintis.
Dari Samarinda, warga ke-10 desa ini bisa menggunakan penerbangan perintis bersubsidi menuju Bandara Datah Dawai, Desa Long Lunuk, Kecamatan Long Pahangai. Penerbangan tak setiap hari. Hanya ada pada Senin, Rabu, dan Minggu, dengan maskapai Avia Star dan Susi Air. Pesawat kecil ini pun terbang tergantung cuaca. Jika cuaca buruk, penerbangan sering dibatalkan.
Dari Desa Long Lunuk, perjalanan harus ditempuh dengan menggunakan kapal kecil terbuat dari kayu dengan mesin yang biasa disebut warga sebagai kapal ces. Biaya perjalanan kapal tergantung kondisi pasang surut air sungai.
Jika air pasang, warga desa merogoh kocek Rp1 juta untuk satu perahu untuk sampai di Desa Tiong Ohang. Jika sungai surut seperti saat ini yang sedang kemarau panjang, biaya yang harus dikeluarkan bisa jauh lebih banyak. Pasalnya, mereka harus berganti perahu.
“Kalau sungai surut, ada banyak giram yang tak bisa dilewati perahu itu. Jadi jika ada giram tinggi, warga desa harus ganti perahu. Pergantian perahu tergantung banyaknya giram,” kata tokoh adat Long Apari, Yohanes Ibo.
Desa ini juga tak memiliki aliran listrik sama sekali. Sebagian warga yang mampu, memiliki genset pribadi. Namun sebagian besar warga hidup dalam kegelapan di malam hari.
Untuk saat ini warga berharap, satu per satu infrastruktur bisa terbangun. Harapan paling realistis warga yang bisa segera teralisasi adalah sinyal telekomunikasi, karena sudah terbangun tower BTS.
“Kalian harus tahu, televisi kami hanya menangkap siaran dari Malaysia. Siaran radio juga. Coba bayangkan jika desa-desa ini bergabung dengan Malaysia, jangankan sinyal HP, infrastruktur pasti bagus,” katanya.
Tak heran jika banyak warga desa menyuarakan agar desa-desa di perbatasan ini bergabung ke Malaysia saja. Menurut mereka, lebih sejahtera jika di kawasan ini berkibar bendera Malaysia, ketimbang bendera merah putih.
“Kami memang seperti anak tiri. Tapi hati kami sejatinya sangat cinta Indonesia. Nenek moyang kami ikut mempertahankan setiap jengkal tanah ini demi NKRI. Wajar saja kalau warga desa di perbatasan marah karena merasakan kondisi yang tak pernah berubah,” kata Yohanes.
0 Komentar untuk "10 Desa di Perbatasan Ancam Pasang Bendera Malaysia"