Wulung UAV: Tantangan Dibalik Sistem Kendali dan Komunikasi Data
Seperti telah diulas di artikel Indomiliter sebelumnya , Wulung UAV: Pesawat Tanpa Awak Pengawal Perbatasan RI. Disebutkan bahwa TNI AU tak lama lagi akan menggelar satu skadron PUNA (Pesawat Udara Nirawak) sebagai wahana pengintai untuk wilayah perbatasan RI – Malaysia di Kalimantan. Dan ikon utama skadron anyar TNI AU ini adalah Wulung, jenis UAV (Unmanned Aerial Vehicle) buatan karya anak bangsa.
Memang di dalam komposisi skadron UAV, TNI juga mencomot UAV modern asal Israel, Heron. Tapi bagi kami, sosok Wulung-lah yang lebih memikat untuk ditelusuri lebih jauh. Mengapa? Alasannya adopsi UAV Wulung merupakan lompatan teknologi tinggi bagi kemandirian alutsista Dalam Negeri. Bila kita dapat menguasai teknologi UAV, maka bukan hal yang sulit bila nantinya Indonesia ingin mengembangkan UCAV (Unmanned Combat Aerial Vehicle) yang dipersenjatai.
Baik Heron dan Wulung, nantinya murni dihadirkan militer Indonesia sebagai pesawat pengintai. Sebagai wahana dengan muatan teknologi canggih, banyak sisi menarik dari Wulung yang dapat dikupas, diantaranya adalah sistem kendali dan komunikasi yang digunakan. “Ada banyak parameter yang dibutuhkan dalam menunjang operasional Wulung, tapi sistem kendali dan komunikasi data adalah yang paling menantang dalam pengembangannya,” ujar Mohamad Dahsyat, Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT kepada Indomiliter.com.
Sistem Kendali Wulung
Dalam memenuhi standar UAV, saat ini Wulung dapat diterbangkan secara auto pilot dan autonomus. Ini artinya Wulung bisa terbang sendiri dengan pola robotic. Tentunya sebelum pesawat tinggal landas, kru di darat telah men-setting (plot) way point yang menjadi rute atau lintasan terbang si Wulung. Semisal harus diketahui berapa ketinggian bukit dan gunung yang akan dilewati. Menurut penuturan Mohamad Dahsyat, Wulung dapat di setting hingga 100 way point. Nantinya setelah pesawat mengudara, awak di Ground Control Station (GCS) dapat memonitor arah dan posisi pesawat lewat map digital pada komputer.
Dalam spesifikasinya, Wulung yang berbobot 120 kg punya jarak jangkau hingga 200 km dengan waktu terbang (flight endurance) 4 jam. Selama mengudara, kru di GCS bisa memantau secara real time kondisi dari pesawat, dalam hal ini termasuk mengetahui kondisi bahan bakar dan baterai. Bila dalam suatu kondisi pesawat melenceng dari rute yang telah digariskan, maka kru di GCS dapat mengatur posisi lintasan Wulung. Untuk misi taktis pengintaian, kru GCS secara otomatis bisa ‘memerintahkan’ Wulung untuk melakukan pemotretan udara. Dalam hal kecanggihan, selain dibekali kamera berlensa optik, Wulung sudah ditanamkan teknologi FLIR (Forward Looking Infra Red), plus GPS (Global Postioning System) untuk menentukan koordinat foto hasil pengintaian.
Sebagai pesawat intai modern, Wulung punya kemampuan terbang siang dan malam. Meski tidak dirancang terbang untuk segala cuaca, dalam prakteknya Wulung tidak mengalami masalah saat terbang dalam cuaca kurang bersahabat. “Wulung tidak disarankan untuk terbang dalam kondisi hujan, tapi dalam pengujian nyatanya pesawat dapat terbang sempurna meski saat kondisi hujan,” papar Mohamad Dahsyat yang mengepalai proyek pengembangan Wulung di BPPT.
Kembali ke sistem kendali, meski sudah bisa beroperasi auto pilot dan autonomus. Tapi untuk saat ini, pada proses take off dan landing kendali pesawat masih harus dilakukan secara manual dari GCS. “Dalam pengembangan versi selanjutnya, Wulung akan hadir dengan kemampuan auto take off dan auto landing,” papar Mohamad Dahsyat. Sebagai informasi, saat ini sudah ada tiga unit Wulung yang berhasil dirampungkan, dan masih ada 5 unit pesanan Wulung yang sedang digarap pembuatannya oleh PT Dirgantara Indonesia.
Sistem Komunikasi Data Wulung
Seberapa jauh UAV dapat terbang sangat ditentukan oleh kemampuan komunikasi data yang dimiliki oleh operator. Secara teori, Wulung dapat terbang sejauh 120 km, dan dapat ditingkatkan hingga lebih dari 200 km. Dalam gelar operasi Wulung, alur komunikasi data antara GCS dengan UAV dapat dilakukan dalam pola Line of Sight (Los) dan Beyond Line of Sight (BloS). Yang dimaksud pola LoS adalah data link dipancarkan langsung dari GCS ke UAV. Data link menyediakan komunikasi dua arah, baik atas permintaan atau secara terus-menerus.
Sementara pola BLoS adalah data link yang dipancarkan antara GCS dan UAV melalui proses relay (tidak langsung). Media relay data yang digunakan bisa via satelit, BTS (base transceiver station) operator selular, dan Mesh. Yang disebut terakhir yakni memanfaatkan jejaring komunikasi antar pesawat yang mengudara di suatu kawasan.
Nah, soal pilihan menggunakan LoS ataukah BloS tentunya sangat bergantung pada beberapa hal, seperti jangkauan misi dari UAV dan kondisi topografi. Dalam konteks Wulung yang bakal beroperasi dari lanud Supadio , Pontianak – Kalimantan Barat. Maka diperkirakan masih ideal menggunakan pola LoS, pasalnya topografi di Bumi Kalimantan cenderung lebih datar, sehingga pancaran sinyal LoS masih bisa dilakukan. Dalam gelar operasinya, LoS dan BLoS di Wulung bisa dipasang sebagai redundance, artinya jika yang salah satu bermasalah masih bisa digunakan yang satunya lagi.
Tapi lain cerita bila Wulung harus menjangkau wilayah yang lebih jauh, atau misalnya suatu saat ditugaskan ke wilayah Papua yang bergunung-gunung tinggi. Maka pola BLoS-lah yang diusung, sistem relay data yang digunakan biasanya adalah satelit. Pola BLoS juga jamak dilakukan militer AS saat mengoperasikan UCAV di Irak, Afghanistan dan Pakistan. Saat menggepur milisi Taliban di Afghanistan, boleh jadi GCS-nya berada di Turki atau Eropa.
Kelemahan Satelit
Bagi negara maju sekelas AS, Cina, dan Rusia, urusan kesiapan satelit penunjang misi UAV/UCAV tak perlu dipersoalkan. Tapi lain hal dengan negara yang tak memiliki satelit buatan sendiri, atau hanya mengandalkan sewa satelit. Maka komunikasi data sebagai basis penghubung antara GCS dan UAV bisa menjadi masalah di kemudian hari. Maklum komunikasi via satelit kerap disadap oleh negara lain, apalagi selama ini Indonesia hanya berlaku sebagai negara konsumen.
Dari sisi teknis, komunikasi dengan media satelit juga punya tantangan lain. Bila karena suatu hal sinyal terputus, maka untuk re-dialing bisa membntuhkan waktu hingga 5 menit. Tapi sebagai robot terbang yang canggih, Wulung sudah di setting untuk return to base secara otomatis bila komunikasi terputus. Nah, bila diharuskan menggelar pola BloS tapi tak ingin menggunakan satelit, maka pilihan yang mungkin adalah memberdayakan aset sipil, yaitu tebaran menara BTS milik operator selular. Tentu saja gelar dengan dukungan BTS perlu setting khusus dengan biaya lebih besar.
Anti Jamming
Ada beberapa spesifikasi untuk UAV pesanan TNI, selain endurance, payload, dan ketinggian terbang (altitude). Maka elemen lain yang tak kalah pentingnya adalah anti jamming. “Sampai saat ini memang belum pernah ada jamming saat Wulung mengudara, tapi dalam beberapa kali uji Wulung dapat lolos dari jamming berkat penggunaan teknik hopping frekuensi,” ungkap Mohamad Dahsyat, alumni Fakultas Teknik Fisika Universitas Padjajaran angkatan 1982.
Pengembangan Wulung tentu masih belum ideal untuk kebutuhan militer. Tapi adopsi UAV garapan bersama BPPT, PT. LEN dan PT. DI adalah langkah strategis yang tepat bagi membangun kemandiran teknologi alutista di Dalam Negeri. Ingat, bahwa membangun kehandalan teknologi alutsista tidak dapat dilakukan dengan sekejap. Dengan penguasaan teknologi UAV, maka bukan perkara sulit bagi Indonesia untuk menciptakan peluru kendali. (Haryo Adjie Nogo Seno)
0 Komentar untuk "Wulung UAV: Tantangan Dibalik Sistem Kendali dan Komunikasi Data"